PROFESI wartawan atau jurnalis yang akrab dengan sebutan kuli tinta, mulai memudar. Bahkan kini muncul stigma baru yakni kuli handphone. Julukan kuli tinta tersebut kini tergerus seiring pesatnya perkembangan era digitalisasi.
Saat ini, profesi dan tugas jurnalistik seorang wartawan, rata-rata memanfaatkan teknologi gadget atau android. Keberadaan gadget ini terbukti efektif menunjang kinerja jurnalis.
Lain dengan dulu, bermodalkan notes kecil, tinta dan kamera poket harus bergelut di lapangan. Belum lagi diburu ke kantor redaksi dikejar dead line mengetik berita di mesin tik jadul. Termasuk harus cuci cetak foto.
Jika males ke kantor, berita di ketik di rumah dikirim via faksimile. Kiwari, berkat teknologi digitalisasi dengan sarana gadget, androd ini, proses tayangan lebih cepat, baik berita ataupun foto di media online.
Berkat teknologi digitalisasi kian canggih ini dan maraknya media online dan media sosial berdampak pada media cetak yang kini mulai megap-megap dan sebagian besar telah kolaps.
Maraknya media online, marak juga wartawan. Beda dengan dengan dulu, untuk jadi wartawan tidak mudah. Selain pendidikan, harus ditunjang dengan kemampuan menulis berita.
Wartawan dulu tidak mudah untuk mendapatkan KTA (kartu pers). Paling hanya dibekali surat tugas untuk peliputan. Kini, maraknya media online, begitu mudah dan cepatnya jadi wartawan lengkap dengan kartu pers.
Bahkan seorang wartawan kini bisa menulis di 2 atau 3 media online dengan mengantongi kartu pers berbeda. Urusan berita-berita gampang, tinggal copy paste atau minta ke sesama wartawan.
Bahkan di era digitalisasi saat ini dengan bermodalkan gadget dan android, siapa pun barangkali bisa jadi "wartawan" dengan sarana media sosialnya.
Maraknya media online dan maraknya wartawan, saat ini muncul sebutan "jurnalisme copy-paste". Jurnalis copy paste adalah pekerjaan mengumpulkan, mencari dan menulis berita dengan menggunakan teknik salin menyalin saja. Seperti ambil berita di media lain atau dapat dari humas, lalu di copy, dirubah sedikit kalimatnya, dan dipublis.
Ini bisa diberi nama jurnalisme copy-paste bukan tanpa sebab. Pasalnya, ya diatas tadi, proses perekrutan wartawan saat ini, sangat singkat, resmi dan sudah mendapat kartu pers. Tanpa surat lamaran kerja, tanpa ijazah, dan tanpa tes apapun.
Tidak seperti dulu perekrutan wartawan sangat ketat. Selain pendidikan, kemampuan menulis berita juga jadi syarat. Soal salin menyalin berita saat ini tergolong lumrah dan menjadi biasa saja bagi kalangan wartawan, khususnya media online.
Kenapa dikatakan khusus media online, karena dari pengalaman saya berita copy-paste ini hanya terjadi di kalangan media online. Perilaku salin menyalin berita seperti ini dinilai telah mencederai kode etik jurnalistik yang berbunyi “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”.
Mengapa dikatakan begitu, karena mengambil berita orang dan mempublis di media miliki kita bukanlah cara yang profesional bagi seorang wartawan. Selamat HPN 09-02-2023. (YANS).**